“Dia itu putri dari seorang kiayi terpandang, lelaki beruntung yang
bisa mendapatkannya ” untaian
kata-kata itu sering kali terdengar, ungkapan “Buah tak jauh dari pohonya”
sudah menjadi paradigma yang melekat pada masyarakat saat ini. Wajar memang,
sungguh manusiawi jika keturunan, kecantikan ataupun harta dan yang pastinya
keshalihahan menjadi pandangan objektif bagi
sebagian orang untuk menentukan pilihan. Tak dipungkiri dengan keturunan yang
terhormat mengantarkan kita kepada derajat kemulian, dengan kecantikan
memperbaiki keturunan kita selanjutnya, Harta bisa memberikan sumbangsih
kebahagiaan dalam perjuangan hidup. Kalaulah saya menjadi orang tua dari seorang
putra saya pun akan mempertimbangkan ketiga hal tersebut sebagai rujukan
tambahan setelah aspek keshalihahannya.
Tetapi selalu ada pengecualiaan dari
setiap fenomenanya. Tak semuanya ibu tiri itu jahat, tak semuanya yang nakal
itu bodoh dan tak semuanya yang kaya itu bahagia. Begitupun dengan hal ini tak
selamanya keturunan, kecantikan ataupun harta bisa menjamin kebagiaan yang
abadi. Dan sungguh bijaksana Rasulullah menjadikan keshalihahan sebagai
prioritas utama dalam menenukan pilihan. Memilih karena keturunannya saja
dengan sekejap Allah bisa menghancurkan kehormatan keturunannya, dengan
kecantikan seiring berjalannya waktu memudar juga kecantikan yang dulu
dibanggakannya dan dengan harta tak sulit bagi Allah untuk memusnahkannya
dengan sekejap harta yang selama ini di dambakannya. Tapi jika memilih karena
keshalihahannya? Allah menjamin kebahagiaan di dunia dan akhiratnya. Subhanallah
…
Saya sangat terharu ketika teman
saya mencerikan kisah Sahabat Rasulullah SAW. Ummar bin Khotob. Suatu ketika
Umar bin Khotob menjadi seorang khalifah ia berkeliling untuk memastikan
keadaan rakyatnya. Dan pada saat itu umar mendengar percakapan antara ibu penjual
susu dan anaknya, sang ibu yang berencana untuk mencurangi susu dagangannya
tetapi dengan kata-kata indahnya sang anak mengingatkan sang ibu untuk jujur
dan tidak berbuat yang demikian. Dan pada saat itu pula Umar terharu kepada
anak yang berusaha jujur dan mengingatkan ibunya itu dan menikahkan anak
kandungnya. Umar takjub akan keshalihahan sang anak penjual susu, tak melihat
siapa orangtuanya walau sang ibu berniat jahat, Dan walaupun pada saat itu umar
menjabat seorang khalifah, jabatan yang maha agung. Sungguh inspiratif bukan?
Dan itulah Islam bersikap.
Bersikap bijak, objektif dan
demokratis adalah sebuah keharusan dalam menentukan pilihan, apapun itu. Tak
ada yang tahu bagaimana skenario selanjutnya dari sang sutradara hidup. Yang
saya tahu Allah Maha Adil, Ada rencana lain dari setiap ketetapannya. Sesuai
janji yang tak pernah di ingkarinya “Lelaki yang Baik diperuntukan untuk
wanita yang baik, wanita yang baik diperuntukan untuk lelaki yang baik “